Oleh : Muhammad Fauzan Auliaurrahman (Koordinator Guru Tahfidz SD Tahfidz At-Taqwa)

  1. Perayaan Hari Guru: Antara Hukum, Apresiasi, dan Tantangan Gratifikasi dalam Perspektif Islam

Setiap tahun, 25 November menjadi momentum istimewa untuk merayakan Hari Guru. Momen ini digunakan oleh siswa, orang tua, dan masyarakat untuk mengungkapkan rasa hormat serta terima kasih kepada para pendidik. Bentuk apresiasi ini sering kali diekspresikan melalui pemberian hadiah, mulai dari yang sederhana seperti kartu ucapan hingga bingkisan mewah. Namun, di balik keindahan tradisi ini, muncul sebuah pertanyaan penting: Bagaimana hukum merayakan hari guru dan Apakah hadiah yang diberikan bisa menjadi bentuk gratifikasi?

Dari perspektif Islam, pembahasan ini menjadi relevan karena berkaitan dengan Hukum merayakan, keadilan, niat, dan integritas seorang Muslim dalam menjalankan profesinya.

  • Hukum: Bolehkah Kita Ikut Merayakan Hari Guru?

Hari guru/ Hari-hari peringatan itu termasuk kedalam kategori hari raya, karna dia akan terus berputar dan berulang-ulang itulah hakikat hari raya. Di dalam islam kita dilarang membuat-buat hari raya baru. Kita sudah dicukupkan dengan dua hari raya, yaitu : hari raya idul fitri dan hari raya idul adha, maka selain dari 2 Hari raya ini Di haramkan, maka kita tidak boleh membuat atau mengikuti event untuk peringatan hari raya selain hari raya idul fitri dan hari raya idul adha. Kecuali apabila ada paksaan seperti keadaan yang darurat. Contohnya Lembaga Pendidikan/Sekolah di hari Raya Kemerdekaan, dalam pandangan syari’at itu tidak boleh, karna termasuk dalam perayaan selain dari 2 hari raya umat muslim, akan tetapi kalau misalkan suatu lembaga tersebut tidak mengadakan event-event di hari Kemerdekaan tersebut dapat membuatnya ditutup maka ini adalah keadaan yang memaksa, sehingga ini masuk kategori pembahasan dalam keadaan darurat, yang dimana keadan darurat bisa membuat sesuatu yang haram menjadi dibolehkan, Wallahu a’lam

(Sumber, https://youtu.be/ErQSpvvYUdI?si=-gOc0g1fD-yt_HBY)

  • Gratifikasi: Garis Tipis Antara Apresiasi dan Penyimpangan

Gratifikasi secara umum dipahami sebagai pemberian dalam bentuk apapun yang diterima oleh seseorang karena posisi atau perannya. Di dunia pendidikan, praktik ini bisa terjadi ketika hadiah diberikan kepada guru dengan harapan mendapatkan perlakuan khusus, seperti nilai lebih baik atau perhatian ekstra.

Dalam hukum Islam, gratifikasi termasuk ke dalam kategori pemberian yang tidak diperbolehkan. Rasulullah ﷺ pernah memperingatkan bahwa hadiah kepada seseorang yang memegang amanah publik berpotensi menjadi bentuk pengkhianatan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

“Hadiah bagi pejabat (pegawai) adalah ghulul (khianat).” (HR. Ahmad 5: 424. Syaikh Al Albani menshohihkan hadits ini sebagaimana disebutkan dalam Irwa’ul Gholil no. 2622)

(Sumber https://rumaysho.com/9729-hukum-hadiah-mahasiswa-untuk-dosennya.html)

Peringatan ini memberikan panduan bahwa hadiah yang mengandung konflik kepentingan atau memengaruhi keadilan adalah sesuatu yang dilarang. Dalam konteks pendidikan, guru adalah sosok yang memegang amanah besar untuk mendidik generasi dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.

  • Islam dan Hukum Memberi Hadiah Kepada Guru

(Sumber https://rumaysho.com/9729-hukum-hadiah-mahasiswa-untuk-dosennya.html)

Islam tidak melarang pemberian hadiah, bahkan menganjurkannya sebagai salah satu cara untuk mempererat hubungan:

“Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)

Namun, Islam juga menekankan pentingnya niat dalam setiap pemberian. Hadiah yang diberikan dengan tujuan murni untuk menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang, tanpa ada maksud tersembunyi, sangat dianjurkan. Sebaliknya, hadiah yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan tertentu dikecam karena dapat merusak keadilan.

Syaikh Dr. Ahmad Al Kholil hafizhahullah berkata, “Termasuk pula dalam hadiah yang terlarang adalah hadiah dari seorang murid (mahasiswa) kepada guru (dosennya). Itu termasuk dalam hadayal ‘ummal, yang tidak dibolehkan, baik itu diberi setelah kenaikan tingkat dan diumumkannya hasil (nilai) atau sebelumnya, baik hadiah itu diberikan dalam rangka memberikan manfaat pada guru agar bisa memberikan nilai yang bagus atau cuma sekedar membalas budi baik semata.”

Alasan ketidakbolehannya dengan dalil hadayal ‘ummal yang disebutkan di atas dari dua sisi:

1- Hadits tersebut menunjukkan bahwa siapa saja yang telah mendapatkan gaji dari kas negara karena pekerjaan yang ia lakukan, maka tidak boleh baginya mengambil sesuatu yang lebih sebagai timbal balik dari pekerjaannya. Hal ini dikuatkan pula dengan hadits dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

“Siapa saja yang dipekerjakan dalam suatu amalan lantas ia mendapatkan gaji dari pekerjaan tersebut kemudian ia mendapatkan tambahan lain dari pekerjaan itu, maka itu adalah ghulul (hadiah khianat).” (HR. Abu Daud no. 2943. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

2- Dalam hadits hadayal ‘ummal disebutkan diharamkannya seorang pegawai mengambil hadiah tanpa diperinci. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merinci hal ini, apakah hadiah tersebut diambil setelah pekerjaannya mengurus zakat selesai ataukah sebelumnya. Begitu pula di situ tidak disebutkan apakah hadiah tersebut untuk maksud dimudahkan dalam masalah zakat ataukah tidak.

Dalam Mirqotul Mafatih disebutkan bahwa Ibnul Malik berkata akan tidak bolehnya seorang pegawai menerima hadiah. Karena jika ada yang memberikan hadiah, maka tujuannya bisa jadi sebagai sogokan agar zakat tidak ditagih, tentu seperti ini tidak boleh. Boleh jadi hadiah tadi diberikan untuk tujuan lainnya namun karena memandang orang tersebut melakukan pekerjaan itu padahal ia telah diberikan upah atas pekerjaannya. Intinya, dengan memandang dua sisi ini, hadiah semacam itu tidak dibolehkan.

Al Qurthubi mengatakan tentang hadits hadayal ‘ummal, “Hadits tersebut adalah dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa hadiah yang diberikan kepada pejabat, hakim serta pegawai yang mengurus hajat kaum muslimin tidaklah dibolehkan. Hadiah tersebut adalah hadiah ghulul (khianat) dan menunjukkan haramnya. Seperti itu termasuk makan harta dengan jalan yang batil.”

  • Menghormati Guru dengan Cara Islami

Alih-alih fokus pada hadiah materi, Islam menawarkan berbagai bentuk penghormatan yang jauh lebih bermakna, seperti:

  1. Mendoakan Guru

Dalam Islam, doa adalah hadiah terbaik yang bisa diberikan kepada seseorang. Mendoakan kesehatan, keberkahan, dan ilmu yang bermanfaat bagi guru adalah bentuk penghormatan yang tidak ternilai.

  1. Mengamalkan Ilmu yang Diajarkan

Ilmu yang diamalkan oleh murid adalah amal jariyah bagi guru. Dengan demikian, mengimplementasikan ajaran guru dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk apresiasi tertinggi.

  1. Berperilaku Baik

Bersikap sopan, menghormati, dan menjaga adab terhadap guru merupakan bentuk penghormatan yang sesuai dengan ajaran Islam.

            Dengan demikian islam mengajarkan untuk memberikan penghormatan kepada guru ini bukan dikhususkan ketika hari guru saja, akan tetapi penghormatan kepada guru ini di berikan setiap hari di setiap saat kita bersama guru tersebut ataupun sedang tidak bersamanya, Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *